Re-Post "Fuchsia" atau "Surat Untuk Fa"

Minggu, 19 Mei 2013

Ini salah 1 Tulisan dari penulis fiksi favorit aku. yah, Bernard Batubara atau kalo dikenal dengan Benzbara. Aku suka sama tulisan yang judul FUCHSIA di-share di blognya di (bisikanbusuk.com) , namun dalam Buku terbarunya yang berjudul MILANA, judul tulisan ini diganti menjadi "Surat Untuk Fa". Fuchsia sendiri adalah salah satu jenis bunga. Jika bunga Daisy melambangkan Kesucian, kesederhanaan dan kesetian. Bunga Fuchsia melambangkan selera yang bagus. Yang membuatku makin menyukai tulisan ini ialah sang penulis menggunakan nama "Fa" sebagai tokoh utamanya. Walaupun "Fa" yang dimaksud bukan aku. Happy Reading :))





Fa, janganlah kau menangis lagi. Tak sanggup bumi ini menampungnya. Masa lalu kita mungkin sebuah kesalahan tapi aku tak pernah menyesal. Tentu kau juga, bukan? Biarlah waktu menuntunmu melewati kegelapan. Luka dapat menyembuhkan dirinya sendiri asal kau memberinya jalan. Sungguh, Fa, tak ada yang perlu diperdebatkan perihal aku atau kau yang memulai. Kita sama-sama paham. Namun bila kau masih saja memikirkannya, berjanjilah, berjanji untuk dirimu sendiri- kau tak akan pernah membaca suratku lagi.


Ini entah surat ke berapa yang kutulis dan kukirim kepadamu, Fa. Kau tak pernah membalas dan aku mengerti itu. Aku pun tak pernah berharap untuk menerima balasan darimu. Aku terus menulis surat untukmu sebab aku pernah berjanji demikian. Aku akan mengabarimu tentang keadaanku dan, tentu saja, menanyakan kabarmu.

Oh ya, bagaimana kabarmu sekarang? Masih suka duduk melamun di teras rumah sambil menghirup aroma tanah basah? Ah, hobi yang sampai sekarang masih tak bisa kumengerti apa asyiknya. Hei, kau jangan marah ya. Aku kan hanya berpendapat. Oke, kembali ke topik, bagaimana tadi kabarmu? Yah, aku yakin semuanya baik-baik saja, kan. Kecuali hidungmu yang terlalu besar dan panjang seperti luncuran bermain anak-anak. Hahaha.. Hei, hei, aku hanya bercanda. Jangan cemberut begitu.

Kembali ke masalah kita. Maksudku, bukan masalah, tapi.. ya sudahlah.

Fa, aku percaya segalanya terjadi bukan tanpa alasan. Bahkan hujan yang turun nyaris setiap hari di kotamu itu memiliki maksud sendiri. Mungkin untuk membasahi hatimu. Mungkin untuk membasahi matamu. Tapi sesungguhnya, Fa, kaulah yang memilihkan alasan itu untuk mereka. Mereka hadir begitu saja dan tak akan berarti apa-apa kalau kau tak memberinya makna. Karena kaulah mereka menjadi berarti. Kau bisa saja menganggap mereka tak ada. Tapi kau tak pernah sanggup melakukannya. Kurasa kau bukan tak sanggup, kau hanya tak ingin.

Intinya, Fa, kaulah yang memiliki kuasa atas dirimu sendiri. Jalan yang kaulihat akan selalu gelap kalau kau memandangnya demikian. Aku percaya di dalam hatimu masih ada matahari kecil yang kau tutupi. Bukalah sejenak, Fa. Dan kau akan menyadari betapa indahnya pelangi yang selama ini kau hindari. Perasaanmu itu.

Jadi, janganlah menangis lagi. Kumohon. Aku tahu diriku penuh dosa. Setiap huruf dalam suratku selama sepuluh tahun inilah yang kuharap dapat mengikis sedikit demi sedikit dosa itu. Tapi, tentu saja, Fa, kaulah yang berhak memutuskan hal tersebut. Aku hanya pendosa yang hidup dalam kegamangan, bahkan tak pernah sanggup untuk bermimpi mendapatkan pengampunan.

Fa, kadangkala aku tak mengerti akan sesuatu. Apakah aku harus merasa bersalah kepada dirimu ataukah kepada diriku sendiri? Kurasa kedua-duanya. Ya, aku bersalah kepadamu dan kepada diriku juga. Tapi aku sudah mencoba memaafkan diriku dan sekarang aku masih menunggu maaf darimu.

Itulah yang kuingin kau lakukan sedari dulu, Fa. Maafkanlah dirimu. Aku tak tahu pasti apakah rasa bersalah kita terhadap diri masing-masing sama besarnya atau tidak, tapi kau harus melakukannya. Percayalah, sikapmu yang selalu saja mengutuki diri sendiri itu tak akan membawa kita ke mana-mana, maksudku, tak akan membawa kau ke mana-mana. Kau hanya akan bergulat dalam lumpur yang semakin hari semakin memenuhi rongga dadamu dan akhirnya membuat kau tak bisa bernapas. Kau sudah merasakannya sekarang, kan? Bahkan mungkin sejak pertama kali kita tak lagi bertemu.

Fa, kau jangan salah sangka. Aku tak bermaksud untuk mengguruimu. Apalagi soal maaf dan memaafkan. Tapi yang jelas aku hanya ingin kau hidup bahagia. Apa kau bahagia sekarang, Fa?

Fa, jangan kau basahi surat ini dengan airmatamu. Airmata itu terlalu berharga untuk kau tumpahkan setiap hari. Simpanlah. Banyak hal indah yang suatu saat nanti akan memaksamu mengeluarkan airmata dan itu memang pantas kau lakukan. Tapi tidak untuk surat ini. Tidak juga untuk dirimu sendiri. Apalagi untukku.

Oh ya, kau masih suka menari? Aku suka melihat kau menari. Walau kadang aku heran saat itu kau melakukannya setiap waktu, kapanpun itu. Entah saat kau marah, bahagia, maupun sedih. Tapi aku suka. Kau seperti melepaskan percikan-percikan warna ke udara. Melukis angin dengan gerak tubuhmu. Saat aku melihat kau menari, aku seperti sedang menyaksikan seorang maestro pelukis yang membuat mahakarya di atas sebuah kanvas maharaksasa. Aku bahagia sekali karena saat itu akulah satu-satunya orang paling beruntung di dunia yang dapat melihatnya.

Fa, kuingin kau menari. Menarilah. Menari dengan tarian paling indah. Dengan gemulai rambutmu yang tergerai. Dengan sepasang alismu yang menantang. Dengan bibirmu yang menyimpan rahasia. Menarilah dengan gerimis yang berderai. Menarilah bahkan dengan airmatamu yang terurai. Menarilah, Fa!

Bukan tempatmu di sini, dalam kegelapan ini. Dalam pekatnya rasa kecewa dan putus asa. Fa, kau rindu akan segala hal yang bercahaya. Yang berwarna. Kau tahu itu.

Fa, aku ingin mengurai seluruh kenangan. Tapi aku khawatir benakmu belum sanggup memilah mana yang manis dan mana yang pahit, bukan.

Maukah kau memaafkanku?

Sebelum aku lupa, aku ingin mengatakan kepadamu bahwa ini adalah surat terakhir yang kutulis dan kukirim untukmu. Sudah sepuluh tahun aku melakukannya. Dan seperti yang sudah kubayangkan, kau tak pernah mengirim surat balasan.

Tapi aku tak akan berhenti mengirim kabar kepadamu. Suatu waktu kau akan mendengar suaraku lewat angin yang menepuk pipimu. Atau lewat bau tanah yang menguap karena hujan. Kau sahutlah sesekali, Fa. Walau tak lewat kata-kata, aku akan merasakannya. Karena hati kita pernah terpaut dan sekarang pun juga.

Bukan begitu, Fa?

Berjanjilah, kau akan berhenti dari kesedihan ini dan memberi hatimu kedamaian. Sudahlah, lupakan semua kesalahan. Jangan jadikan mereka hantu bagimu. Jadikanlah mereka sekumpulan foto usang berbingkai yang dapat kau kukunjungi sesekali bila kau ingin. Tak lebih dan tak akan pernah lebih dari itu!

Sekali lagi, aku tak bermaksud menasehatimu. Aku menyayangimu, Fa. Sebab itu aku menulis surat ini. Sejak pertama dan sampai sekarang, tak pernah berubah.

1 komentar:

penikmat hujan mengatakan...

Maaf cuma mau bilang, setau saya surat untuk fa dibuku milana itu bukan karya bernard batubara, mungkin bisa dicari tau kalau emang gak yakin :)

Posting Komentar